Click & Check it !

Selasa, 17 September 2013

Zero Mind Process

PENJERNIHAN EMOSI
KEKUATAN PRINSIP
(Ingatlah) ketika dua golongan daripadamu hampir kehilangan semangat, (dan ingin mengundurkan diri), sedangkan Allah melindunginya. Kepada Allah hendaknya orang mu’min tawakal.
- Q.S. 3 Surat Ali ‘Imran (Keluarga Imran) ayat 122 -

Saya sedang berada di Jakarta dan sedang menulis buku ini. Hari itu Minggu, tanggal 30 Juli tahun 2000, pukul 12 siang. Tiba-tiba telepon genggam saya berdering. Salah seorang mitra usaha saya, seorang dokter dan juga seorang “master’ di bidang asuransi kesehatan, menghubungi saya. Ia memberi tahu, bahwa dirinya sedang berda di Bali dalam rangka perjalanan bisnis untuk meluncurkan dan memasarkan produk asuransi kesehatan khusus untuk turis asing yang datang ke Bali. Kebetulan dia pernah meminta saya untuk mencarikan seseorang yang memiliki akses pemasaran di sana. Saya langsung teringat pada seorang teman di Bali yang pernah meminta saya untuk dicarikan produk seperti yang ditawarkan oleh mitra usaha itu. Kemudian saya segera menghubunginya. Ini suatu peluang bisnis bagi kawan saya.saya akan mempertemukan mereka berdua. Lalu saya ceritakan hal ihwal tentang mitra usaha saya kepada teman saya yang berada di Bali itu agar mempermudah perkenalannya. Saa jelaskan bahwa mitra usaha saya itu adalah seorang yang sangat ahli di bidang asuransi kesehatan, dan ia pimpinan salah satu perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia, seorang dokter dan sangat sukses di Jakarta. Pernah mencapai omzet pendapatan premi terbesar di Indonesia di bidang asuransi kesehatan. Semua ini saya jelaskan kepada kawan lama saya itu agar timbil suatu keyakinan dalam dirinya bahwa dia akan saya pertemukan dengan orang yang sungguh-sungguh ahli dan tepat dalam bisnis ini.

Tetapi sesuatu hal terjadi di luar dugaan saya. Kawan lama saya itu merasa dirinya tidak sejajar dengan sang mitra usaha. Dia mengungkapkan hal ini kepada saya bahwa dia merasa ragu-ragu untuk menemuinya. Sungguh di luar perkiraan saya. Radar hati saya harus bergerak cepat, saya harus menyakinkan kawan lama saya itu. Saya menyadari paradigma yang terbentuk akibat dari kata-kata dan penjelasan saa tentang sang mitra usaha itu membuat dirinya merasa ‘minder’. Saya tekankan bahwa, “Memang sang mitra usaha itu ahli di bidang asuransi kesehatan, tetapi pengetahuan tentang jaringan pemasaran di Bali oastilah anda lebih menguasainya.” Lalu saya katakan: “Mitra usaha saya itu orang jakarta dan anda tinggal di Bali, jadi anda pasti lebih menguasai pemasaran di Bali, dan bahkan apabila sang mitra usaha itu berjalan sendirian di daerah Kuta saja, pastilah dia tersesat kebingungan,” saya berusaha meyakinkan. Saat itu, bisa saya rasakan bahwa kawan lama saya itu tersenyum dan kepercayaan dirinya tumbuh kembali. Dia berkata: “Baik, berapa nomor teleponnya, dan di mana dia tinggal!” dengan suara penuh keyakinan. Kawan lama saya itu hampir kehilangan peluang usaha senilai 100.000 USD. Produk yang belum pernah ada di Bali. Saya yakin akan berhasil, karena kawan lama saya itu memiliki akses penting di Bali, yang menurut saya berpotensi dan membutuhkan produk tersebut. Bali membutuhkan produk tersebut.

Kisah nyata yang saya alami itu, sekiranya bisa menjelaskan bahwa sebuah keterangan, atau sepotong kalimat, atau sebuah kejadian, mampu mengubah paradigma berpikir seseorang. Dan sebaliknya, mampu menghasilkan sikap yang bisa sangat merugikan. Dalam diri seseorang sebenarnya telah dikaruniai oleh Tuhan sebuah jiwa, di mana dengan jiwa tersebut, tiap orang bebas memilih sikap. Bereaksi positif atau negatif, bereaksi benar atau salah, bereaksi berhenti atau melanjutkan, bereaksi marah sabar, bereaksi reaktif atau proaktif, bereaksi baik atau buruk. Andalah sebenarnya penanggung jawab penuh dari reaksi diri anda, sikap anda, dan keputusan anda. Kawan lama saya itu, belum memiliki prinsip kuat dalam cara berpikirnya sehingga menjadi korban lingkungan di sekitarnya. Prinsipnya terbentuk karena kondisi di luar dirinya, bukan dari dalam.

Saya akan memberikan contoh yang lebih ringan lagi. Ini sebuah kisah fiksi dalam melodrama layar lebar yang bertutur dengan latar belakang perang dunai kedua. Roberto Benigni, pemeran ayah dari seorang anak kecil berusia tujuh tahun. Istrinya, diperankan Nicoletta Braschi, dipisahkan Nazi dari suaminya. Benigni dan anaknya menjadi tawanan tentara Nazi Jerman di kamp konsentrasi di Auschwitz. Mereka sudah tidak lagi memiliki kebebasan, hidup di dalam suatu kawasan yang dilingkari kawat berduri dan dijaga ketat pasuka Nazi bersenjata lengkap, serta anjing pemburu yang ganas. Namun Benigni “mengkondisikan” anaknya dengan mengatakan bahwa mereka sedang bermain perang-perangan, sehingga anaknya termotivasi untuk menang.

Pada suatu malam yang sangat dingin, di mana pakaian tidak memadai, serta kekurangan makanan, anaknya mulai merasakan penderitaan dan kebosanan yang amat sangat. Sang anak ingin menghentikan permainan tersebut dan berkata: “Saya tidak mau melanjutkan permainan ini.” Benigni merasakan perasaan sang anak. Lalu dengan wajah sedih dan memelas Benigni berkata kepada sang anak: “Baiklah kita menyerah kalah, mari kita hentikan permainan ini,” sambil membereskan pakaian dan perlengkapan yang dimilikinya, yaitu selimut kumal, baju kotor dan sepatu buntutnya. Kemudian Benigni berjalan gontai ke arah pintu keluar kamar sambil berkata lirih kepada sang anak: “Kita kalah…, dan hadiah sebuah tank akan diambil oleh orang lain.” Sang anak menatap ayahnya dan tiba-tiba berseru: “Tidak ayah, saya ingin memenangkan permainan ini dan mendapatkan hadiah sebuah tank!”

Pada suatu saat sang anak bertanya kepada sang ayah setelah mendengar berita dari temannya, gianluca dan Bartolomeo, bahwa penghuni di kamp kosentrasi ini akan dibakar hidup-hidup di dalam oven dan kemudian menjadi bahan pembuat kancing dan sabun! Benigni tercenung lalu menjawab dengan jenaka: “Masak sih temanmu si Gianluca dan Bartolomeo akan dijadikan bahan kancing dan sabun?” “Kalau begitu mari kita cuci tangan dengan sabun yang terbuat dari Gianluca.” Kemudian Benigni mencopot salah satu kancing bajunya dan menjatuhkannya ke lantai dingin dan kotor seraya berkata: “Lihat, si Bartolomeo jatuh.” Sang anak tertawa.

Suatu hari tiba-tiba pasukan Jerman melakukan pembunuhanmassal di kamp konsertrasi tersebut, setelah mengetahui bahwa pasukan sekutu akan menguasai kota Auscheitz. Benigni harus menyelamatkan anak dan istrinya. Maka mereka berdua melarikan diri dari kamar untuk mencari tempat persembunyian. Benigni menyembunyikan sang anak di dalam sebuah kotak kecil. Benigni berkata: “Nak, hari ini adalah puncak permainan. Kita hrus menang. Kamu harus bersembunyi di dalam kotak ini dan jangan sampai terlihat oleh siapa pun karena semua orang akan mencarimu, kamu harus mendapatkan hadiah tank.” Maka Benigni memasukkan sang anak ke dalam kotak tersebut. Lalu Benigni mencari ibu dari sang anak itu menyelematkannya pula. Sementara itu proses eksekusi atau pembantaian sedang berlangsung dengan keji. Pembunuhan massal dengan cara memasukkan para tawanan ke kamar gas dan kemudian membakar mayatnya. Abu mayat berterbangan di atas kota Auschwitz. Namun malang bagi Benigni, dia tertangkap oleh tentara Nazi. Dia digelandang oleh seorang tentara Nazi. Dan ketika mereka berjalan bertepatan melewati kotak kecil di mana sang anak bersembunyi, serta moncong senapan mengarah di belakang kepala beginin tersadar bahwa ia sedang diawasi anaknya, dan ia lansung berjalan dengan sikap tegak layaknya tentara yang sedang berparade sambil memberi hormat. Sang anak belummenyadari. Ia masih tetap bersembunyi, sesuai pesan sang ayah. Tiga jam kemudian, tiba-tiba terdengar suara menderu-deru. Sebuah tank Amerika lewat di depan tempat persembunyian sang anak. Sang anak langsung loncat keluar sambil menatap tank Amerika tersebut: “Inilah hadiahku, aku menang ayah…” tang tersebut berhenti, seorang tentara Amerika mengangkat anak tersebut dan mengikutsertakannya masuk ke dalam tank. Sang anak memanangkan permainan ini.

Ini adalah kisah dari sebuah film peraih piala Oscar yang berjudul “Life is Beautiful”. Kisah ini dekiranya bisa menggambarkan bagaimana dia mampu menentukan pilihan, sikap, dan reaksi atas kejadian yang menimpa anak dan dirinya. Kemampuan mengendalikan hati dan pikiran. Meskipun secara fisik ia terbelenggu, namun ia mampu berpikir merdeka. Itulah yang disebut kemerdekaan yang sesungguhnya. Berpusat pada prinsip. Tanpa memiliki prinsip yang kuat dan benar, maka rintangan dan cobaan tersebut niscaya akan menggilas dirinya, kamp konsentrasi Auschwitz hanya bisa membelenggu fisiknya, namun tak mampu membelenggu pikirannya.

Masih ingatkah anda, cerita tentang Bilal yang ditindih batu besar di tengah padang pasir yang panas, dipaksa agar meninggalkan agamanya? Namun dia tetap bertahan dan hanya berucap: “Ahad…Ahad…Ahad.” Orang Quraisy itu tidak pernah bisa merampas kemerdekaan hati Bilal, meski Bilal adalah budaknya yang tidak merdeka secara fisik, tetapi Bilal tetap memagang teguh prinsip, mempertahankan keyakinan, apa pun resiko yang akan di hadapinya, termasuk nyawa sekalipun. Bilal melalui kekuatan prinsipnya, mampu mengeluarkan dan memisahkan antara fisik (Tubuhnya) yang terbatas dan terbelenggu, dengan hatinya yang bebas meredeka. Batu besar itu memang berhasil menghimpit tubuh kasarnya. Tetapi batu itu tidak mampu menekan jiwanya yang bebas. Bahkan Bilal tidak pernah mengizinkan pikirannya sendiri untuk merasa tertekan. Bilal adalah raja atas pikiran dan hatinya sendiri melihat jasadnya yang dihimpit batu. Inilah makna kata “ahad”, satu prinsip, tidak ada yang lain, bahkan tidak pula untuk jasadnya sendiri.

Menyimak kisah kawan lama saya, cerita di Auschwitz, dan sejarah Bilal seperti dituturkan di atas, saya harapkan bisa menjelaskan bahwa kita memiliki suatu kebebasan untuk memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi atas diri kita. Andalah penanggungjawab utama atas sikap anda, bukan pada lingkungan anda. Di sanalah bersemayam kepedihan, atau kebahagiaan. Andalah sang penentu.

Lingkungan bisa berubah-ubah dalam hitungan detik tanpa bisa diduga. Namun prinsip adalah abadi. Prinsip tidak berubah. Di sanalah terletak pusat rasa aman yang hakiki. Rasa aman yang tercipta dari dalam, bukan di luar. Prinsip yang benar bukanlah sekedar sikap “proaktif” yang selama ini dikenal di barat, yaitu melihat dan berespon dengan cara yang “berbeda” tanpa prinisp dasar yang jelas. Prinsip dasar adalah suatu kesadaran fitrah (awarenes), berpegang kepada Pencipta yang abadi. Prinsip yang esa, Laa Illallah.

Kemampuan untuk “mengendalikan sukma” ketika suatu permasalahan terjadi atas diri kita (proaktif) adalah sangat sulit dilakukan tanpa adanya kekuatan prinsip yang bisa dipegang teguh. Kemampuan untuk mengendalikan suka (proaktif) melalui prinsip Allah Yang Esa saya namakan Kekuatan Prinsip. Inilah dasar penjernihan emosi kita, bukan proaktif seperti yang diajarkan oleh kalangan orang-orang barat yang masih meraba-raba itu.

Kekuatan Prinsip selanjutnya akan menentukan tindakan apa yang akan diambil, jalan yang fitrah atau jalan non-fitrah cenderung menyesatkan danmerugikan. Sedangkan jalan fitrah membimbing ke arah tindakan yang positif. Jalan fitrah adalah suatu tindakan yang dibimbing oleh suara hati. Suara hati berasal dari God-Spot. Ini sesuai dengan pendapat jalaludin Rumi, Danah Zohar, Ian Marshall, V.S. Ramachandran. Atau hasil riset syaraf Austria, Wolf singer. Mereka pakar di bidang SQ. sederhananya adalah firman Allah pada Surat Asy Syams ayat 8-10:

(Allah) mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan. Sungguh, bahagialah siapa yang menyucikannya. Dan rugilah siapa yang mencemarkannya.
- Q.S. 91 Surat Asy Syams (Matahari) Ayat 8, 9, 10 -
Sumber: Ahmad Arqom

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More